Kata “vaksin” berasal dari kata “Vacca” yang dalam bahasa
Latin berarti sapi. Karena vaksin yang pertama kali dikenal dalam dunia medis
modern adalah vaksin cacar nanah (smallpox)
yang dikembangkan dari cacar sapi (cowpox,bahasa
Latinnya adalah vaccinia). Untuk mencegah penyebaran penyakit ini dilakukan teknik
inokulasi atau dikenal dengan istilah
variolasi.
Setelah
temuan Jenner, vaksinasi berkembang dengan adanya teknik autenisasi (teknik
untuk melemahkan mikroorganisme virus dan bakteri penyebab penyakit, namun
tetap hidup dan mampu merangsang respon kekebalan oleh Louis Pasteur ahli
mikrobiologi asal Prancis. Louis Pasteur berhasil mengembangkan vaksin
Pasteurella multicoda (penyebab diare pada ayam), vaksin antraks (pada sapi),
dan vaksin rabies (pada hewan dan manusia).
Teknik
atenuasi yang ampuh selanjutnya ditemukan oleh Calmette dan Guerin melalui
teknik sub kultur berulang (sampai 230 kali) bakteri Mycobacterium Bovis yang
selanjutnya dikenal sebagai vaksin BCG (Bacillus
Calmette-Guerin) untuk mencegah penyakit TBC. Teknik atenuasi untuk
melemahkan virus menjadi lebih berkembang dengan ditemukannya teknik kultur sel
di laboratorium. Berbeda dengan bakteri, virus hanya bias hidup jika berada
dalam sel hidup manusia atau hewan. Teknik kultur sel memungkinkan untuk
“memelihara” dan mengembang-biakkan” sel hidup. Melalui teknik sub kultur
berulang-ulang virus bias dilemahkan dan munculah vaksin polio oral (Oral Polio
Vaccine, OPV), vaksin campak, rubella, mumps, dan varicella. Teknik atenuasi
juga semakin maju lagi dengan ditemukan teknik reassortment yaitu salah satu
teknik unutk “memanipulasi” materi genetic virus, contohnya vaksin rotavirus
(RotaTeq).
Pada abad
ke-19, munculah teknik inaktivasi, sebuah teknik untuk “mematikan”
mikroorganisme, digunakan untuk menciptakan vaksin tifoid (1896), kolera (1896)
dan plague (1897). Trknik inaktivasi saat ini bermanfaat untuk mengembangkan
vaksin polio suntik (Innactivated Polio Vaccine, IPV) dan vaksin hepatitis A.
Teknik ini juga bermanfaat untuk penemuan vaksin tetanus dan difteri.
Di saat
bersamaan ilmu imunologi mengalami perkembangan sangat pesat. Berdasarkan
pengetahuan bagaimana respon kekebalan tubuh bekerja, diketahui bahwa sel-sel
imunitas tubuh mengenali mikroorganisme melalui penanda tertentu yang dikenal
sebagai antigen. Untuk mengenali virus hepatitis B, system imunitas bekerja
dengan mengenali protein HbsAg (Hepatitis B surface antigen), salah
satu protein yang terdapat di permukaan luar virus. Jika vaksin sebelumnya
diberikan dengan “memberikan organisme utuh”, maka dengan konsep antigen, yang
diberikan cukup hanya protein atau polisakarida sebagai “penanda” virus atau
bakteri tertentu saja. Dibantu dengan tekologi pemurnian molekul protein dan
polisakarida, ditemukanlah vaksin pertussis aseluler, vaksin pneumokokus
(heptavalent dan 13-valen) dan vaksin meningokokus konjugat (quadrivalen).
Lalu
munculah teknologi DNA rekombinan yang memungkinkan gen penyandi protein
“dicangkokan” ke organisme tertentu untuk menghasilkan protein yang disandi.
Pada tahun 1982, ilmuwan berhasil mencangkok gen penyandi protein HbsAg ke
jamur (yeast) Saccharomyces cerevisiae sehingga jamur tersebut memproduksi
banyak protein HbsAg. Vaksin Hepatitis B akhirnya menjadi vaksin pertama yang
diproduksi dengan teknologi DNA rekombinan. Teknologi terbaru adalah sebuah
teknik yang dikenal dengan reverse vaccinology (reverse genetic), di mana
ilmuwan bias memprediksi posisi sebuah antigen, dengan teknologi mutakhir ini
adalah vaksin meningokokus grup B.
0 komentar:
Posting Komentar