Kamis, 13 Juli 2017

Sejarah Vaksin

    Kata  “vaksin” berasal dari kata “Vacca” yang dalam bahasa Latin berarti sapi. Karena vaksin yang pertama kali dikenal dalam dunia medis modern adalah vaksin cacar nanah (smallpox) yang dikembangkan dari cacar sapi (cowpox,bahasa Latinnya adalah vaccinia). Untuk mencegah penyebaran penyakit ini dilakukan teknik inokulasi atau dikenal dengan istilah variolasi.
Setelah temuan Jenner, vaksinasi berkembang dengan adanya teknik autenisasi (teknik untuk melemahkan mikroorganisme virus dan bakteri penyebab penyakit, namun tetap hidup dan mampu merangsang respon kekebalan oleh Louis Pasteur ahli mikrobiologi asal Prancis. Louis Pasteur berhasil mengembangkan vaksin Pasteurella multicoda (penyebab diare pada ayam), vaksin antraks (pada sapi), dan vaksin rabies (pada hewan dan manusia).
Teknik atenuasi yang ampuh selanjutnya ditemukan oleh Calmette dan Guerin melalui teknik sub kultur berulang (sampai 230 kali) bakteri Mycobacterium Bovis yang selanjutnya dikenal sebagai vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin) untuk mencegah penyakit TBC. Teknik atenuasi untuk melemahkan virus menjadi lebih berkembang dengan ditemukannya teknik kultur sel di laboratorium. Berbeda dengan bakteri, virus hanya bias hidup jika berada dalam sel hidup manusia atau hewan. Teknik kultur sel memungkinkan untuk “memelihara” dan mengembang-biakkan” sel hidup. Melalui teknik sub kultur berulang-ulang virus bias dilemahkan dan munculah vaksin polio oral (Oral Polio Vaccine, OPV), vaksin campak, rubella, mumps, dan varicella. Teknik atenuasi juga semakin maju lagi dengan ditemukan teknik reassortment yaitu salah satu teknik unutk “memanipulasi” materi genetic virus, contohnya vaksin rotavirus (RotaTeq).
Pada abad ke-19, munculah teknik inaktivasi, sebuah teknik untuk “mematikan” mikroorganisme, digunakan untuk menciptakan vaksin tifoid (1896), kolera (1896) dan plague (1897). Trknik inaktivasi saat ini bermanfaat untuk mengembangkan vaksin polio suntik (Innactivated Polio Vaccine, IPV) dan vaksin hepatitis A. Teknik ini juga bermanfaat untuk penemuan vaksin tetanus dan difteri.
Di saat bersamaan ilmu imunologi mengalami perkembangan sangat pesat. Berdasarkan pengetahuan bagaimana respon kekebalan tubuh bekerja, diketahui bahwa sel-sel imunitas tubuh mengenali mikroorganisme melalui penanda tertentu yang dikenal sebagai antigen. Untuk mengenali virus hepatitis B, system imunitas bekerja dengan mengenali protein HbsAg (Hepatitis B surface antigen), salah satu protein yang terdapat di permukaan luar virus. Jika vaksin sebelumnya diberikan dengan “memberikan organisme utuh”, maka dengan konsep antigen, yang diberikan cukup hanya protein atau polisakarida sebagai “penanda” virus atau bakteri tertentu saja. Dibantu dengan tekologi pemurnian molekul protein dan polisakarida, ditemukanlah vaksin pertussis aseluler, vaksin pneumokokus (heptavalent dan 13-valen) dan vaksin meningokokus konjugat (quadrivalen).

Lalu munculah teknologi DNA rekombinan yang memungkinkan gen penyandi protein “dicangkokan” ke organisme tertentu untuk menghasilkan protein yang disandi. Pada tahun 1982, ilmuwan berhasil mencangkok gen penyandi protein HbsAg ke jamur (yeast) Saccharomyces cerevisiae sehingga jamur tersebut memproduksi banyak protein HbsAg. Vaksin Hepatitis B akhirnya menjadi vaksin pertama yang diproduksi dengan teknologi DNA rekombinan. Teknologi terbaru adalah sebuah teknik yang dikenal dengan reverse vaccinology (reverse genetic), di mana ilmuwan bias memprediksi posisi sebuah antigen, dengan teknologi mutakhir ini adalah vaksin meningokokus grup B.

0 komentar:

Posting Komentar